Kamis, 03 Juni 2010

Pentingnya adab sebelum ilmu

sumber : DDI myQuran.com

Pentingnya Adab-adab dalam menuntut 'Ilmu. berikut beberapa petikan dari para imam tentang pentingnya adab :

Al-Khathib Al-Baghdadiy meriwayatkan dari Al-Imam Malik bin Anas Rohimahulloh, beliau berkata: Berkata Ibnu Sirin: "Mereka (para shahabat dan tabi'in) mempelajari al-huda (petunjuk tentang permasalahan adab dan yang sejenisnya) sebagaimana mereka mempelajari ilmu." (Al-Jaami' li Akhlaaqir Raawii wa Aadaabis Saami', 1/79)

Dari Al-Imam Malik Rohimahulloh juga, dari Ibnu Syihab, beliau berkata: "Sesungguhnya ilmu ini adalah adabnya Alloh, yang telah Alloh ajarkan kepada Nabi-Nya dan demikian juga telah diajarkan oleh Nabi kepada ummatnya; amanatnya Alloh kepada Rosul-Nya agar beliau melaksanakannya dengan semestinya. Maka barangsiapa yang mendengar ilmu maka jadikanlah ilmu tersebut di depannya, yang akan menjadi hujjah antara dia dan Alloh 'Azza wa Jalla." (Ibid. 1/79)

Dari Ibrahim bin Hubaib Rohimahulloh, beliau berkata: Berkata ayahku kepadaku: "Wahai anakku, datangilah para fuqoha dan para 'ulama, dan belajarlah dari mereka serta ambillah adab, akhlak dan petunjuk mereka, karena sesungguhnya hal itu lebih aku sukai untukmu daripada memperbanyak hadits." (Ibid. 1/80)

Dari Ibnul Mubarak Rohimahulloh, beliau berkata: Berkata Makhlad bin Al-Husain Rohimahulloh kepadaku: "Kami lebih butuh untuk memperbanyak adab daripada memperbanyak hadits." (Ibid. 1/80)

Hal ini dikarenakan kalau seseorang sibuk memperbanyak hadits dan menghafalnya akan tetapi tidak beradab dengan adab-adab yang telah dipraktekkan oleh para 'ulama niscaya ilmu tadi tidak akan bermanfa'at. Akan tetapi orang yang belajar adab niscaya dia akan terus mencari tambahan ilmu dengan di'amalkan dan diterapkan adab-adab yang telah dipelajarinya.

Dari Zakariyya Al-'Anbariy Rohimahulloh, beliau berkata: "Ilmu tanpa adab seperti api tanpa kayu sedangkan adab tanpa ilmu seperti ruh tanpa jasad." (Ibid. 1/80)

Dari Malik bin Anas Rohimahulloh, bahwasanya ibunya berkata kepadanya: "Pergilah ke Rabi'ah lalu pelajarilah adabnya sebelum ilmunya." (Tanwiirul Hawaalik Syarh Muwaththa` Al-Imaam Maalik, hal.164)

Maroji' : Aadaabu Thaalibil 'Ilmi hal.23-25 dengan beberapa perubahan.


Beriku juga petikan dari Kitab “At Tajj al Mafquud”, edisi Indonesia “Mahkota yang Hilang” karya Faishol bin ‘Abduh Qo’id al Hasyidi ; Penerbit Cahaya Ilmu Press :

Sesungguhnya perilaku yang baik merupakan salah satu akhlaq agung yang dimiliki para Nabi. Akhlaq ini akan memakaikan baju kewibawaan dan kemuliaan kepada pemiliknya, serta akan menghiasinya dengan keteguhan dan ketenangan.

Ibnu Muflih Rohimahulloh berkata : “Dahulu majelis (Al-Imam) Ahmad Rohimahulloohu Ta'aala dihadiri sekitar 5000 orang atau lebih. Yang menulis kurang dari 500 orang. Adapun sisanya, belajar adab dan samt yang baik dari beliau.”

Ibnul Jauzi Rohimahulloh berkata : “Sungguh dahulu ada sekelompok salaf yang sengaja pergi menuju seorang hamba yang sholih untuk melihat samt dan hadyu, bukan untuk mengambil ilmunya. Karena samt dan hadyu merupakan buah dari ilmunya.”

Makhlad bin Husain Rohimahulloh berkata : “Kami terhadap sedikitnya adab lebih butuh daripada banyaknya hadits.”

Abu Zakariya Yahya bin Muhammad Al ‘Anbariy Rohimahulloh berkata : “Ilmu tanpa adab bagai api tanpa kayu bakar, sedangkan adab tanpa ilmu bak ruh tanpa jasad.”

Al Laits bin Sa’ad Rohimahulloh berkata kepada Ashaabul Hadits : “Pelajarilah oleh kalian al-Hilm sebelum (kalian belajar) ilmu.”

Ibrahim an-Nakha’i Rohimahulloh berkata : “Dahulu bila mereka mendatangi seseorang untuk mengambil ilmu darinya, mereka melihat terlebih dahulu kepada sholatnya, samt, dan penampilannya. Setelah itu barulah mereka mengambil ilmu darinya.”

Muhammad bin Sirin Rohimahulloh berkata : “Sungguh ilmu ini adalah agama, maka perhatikan dari mana kalian mengambil agama kalian.”

Sungguh samt dan 'ilmu merupakan pasangan. Samt tidaklah akan sempurna kecuali dengan 'ilmu, dan 'ilmu juga tidak akan sempurna kecuali dengan Samt.

Note :
As-Samt : Baiknya perilaku (akhlaq dan adab) dalam perkara agama
Al-Hadyu : Tingkah laku dan Cara hidup

Dari ke dua Maroji' di atas nampak begitu besarnya perhatian terhadap Adab dan Akhlaq dalam menuntut ilmu, sehingga "barokah" atas 'ilmu yang di pelajari dari para Masyaikh insya alloh akan nampak dalam pengamalan maupun ketika ber muasyaroh terhadap para pelajar 'ilmu lain, dan juga akan timbul Himmah yang besar dalam diri para pelajar utk khidmat terhadap ilmu itu sendiri. Baca selengkapnya...

Kamis, 11 Maret 2010

Peunggunaan hadist dhoif bolehkah??

Sebagaimana diketahui, pernyataan adanya ijma’ ulama, mengenai pembolehan dan pensunahan pengamalan hadits dhaif dalam masalah fadhail selain halal dan haram, sifat Allah dan aqidah, disebutkan oleh Imam An Nawawi dalam muqadimah kitab Al Arba’ain An Nawawiyah (hal.3)

Beberapa ulama yang menegaskan apa yang disampaikan Imam An Nawawi ini adalah Ibnu Hajar Al Haitami Al Makki dalam Fathu Al Mubin (hal. 32) dan Syeikh Al Ghumari dalam Al Qaul Al Muqni’ (hal.2,3).

Sedangkan mereka yang berseberangan dengan pendapat Imam An Nawawi, mengenai adanya ijma’ bolehnya pemakaian hadits dhaif dalam fadhail merujuk kepada pendapat Al Allamah Al Qasimi dalam Al Qawaid At Tahdits (hal. 113), dalam kitab itu beliau menyatakan bahwa beberapa ulama menolak penggunaan hadits dhaif dalam fadhail. Mereka adalah Al Bukhari, Muslim, Yahya bin Ma’in serta Ibnu Al Arabi.

Dengan demikian, menurut kelompok ini, klaim An Nawawi mengenai adanya kesepakatan ulama gugur, karena beberapa ulama menolak penggunaan hadits dhaif dalam fadhail, seperti yang disebutkan Al Qasimi.

Bagaimana duduk masalah sebenarnya? Tepatkah pendapat Al Qasimi tersebut, bahwa Imam Al Bukhari, Muslim, Yahya bin Ma’in serta Ibnu Al Arabi sepeti yang beliau katakan, yakni menolak hadits dhaif dalam Al Fadhail? Inilah tujuan penulisan artikel ini.

Imam Al Bukhari

Beberapa ulama menyebutkan bahwa penyandaraan pendapat yang menolak hadits dhaif untuk fadhail terhadap Imam Bukhari adalah kurang tepat, karena beliau juga menjadikan hadits dhaif untuk hujjah. Ini bisa dilihat dari kitab beliau Al Adab Al Mufrad, yang bercampur antara hadits shahih dan dhaif. Dan beliau berhujjah dengan hadits itu, mengenai disyariatkannya amalan-amalan. Ini bisa dilihat dari judul bab yang beliau tulis.

Syeikh Abdul Fattah Abu Ghuddah, telah menulis masalah ini dalam komentar beliau terhadap kitab Dhafar Al Amani, karya Imam Al Laknawi (hal. 182-186), dengan merujuk kitab Fadhullah As Shamad fi Taudhih Al Adab Al Mufrad, karya Syeikh Fadhlullah Al Haidar Al Abadi Al Hindi, ulama hadits dari India yang wafat pada tahun1399 H.

Tidak hanya dalam Al Adab Al Mufrad, dalam Shahihnya pun kasus hampir serupa terjadi. Ibnu Hajar Al Asqalani menyebutkan dalam Hadyu As Sari (2/162), saat menyebutkan perawi bernama Muhammad bin Abdurrahman At Tufawi, yang oleh Abu Zur’ah dikatakan “mungkarul hadits” belaiua mengatakan bahwa dalam Shahih Al Bukhari ada 3 hadits yang diriwayatkan oleh perawi tersebut dan semuanya dalam masalah riqaq (hadits akhlak dan motifasi), dan ini tergolong gharaib dalam Shahih Al Bukhari, hingga Ibnu Hajar mengatakan,”Sepertinya Bukhari tidak memperketat, karena termasuk hadits targhib wa tarhib”.

Imam Muslim

Adapun perkataan Imam Muslim dalam muqadimah As Shahih, tidak bisa diartikan sebagai larangan mutlak atas penggunaan hadits dhaif dalam fadhail. Muslim mengatakan dalam muqadimah Shahih beliau,” Dan ketahuilah-wafaqakallah-bahwa wajib bagi siapa saja untuk membedakan antara shahih riwayat dan saqimnya, serta orang-orang tsiqah yang menukilnya daripada mereka yang tertuduh (memalsukan). Tidak meriwayatkan darinya (periwayatan), kecuali yang diketahui keshahihan outputnya dan yang terjaga para periwatnya, serta berhati-hati terhadap periwayatan mereka yang tertuduh, dan para ahli bid’ah yang fanatik.” (Muslim dengan Syarh An Nawawi (1/96)

Syeikh Dr. Mahmud Said, ulama hadits dari Mesir mengomentari perkataan Imam Muslim di atas. Dalam At Ta’rif (1/99) beliau mengataan,”maknanya, wajib bagi siapa saja yang ingin menyendirikan hadits shahih dan mengetahui perbedaan antara shahih…” Artinya, himbauan Imam Muslim di atas untuk mereka yang ingin menyendirikan hadits shahih.

Beliau juga memandang bahwa tidak seorang hafidz pun yang telah melakukan rihlah (mencari hadits) meninggalkan periwayatan para perawi dhaif, hatta Imam Muslim. Karena itu, Imam Muslim memasukkan perawi lemah dan mutruk, yang menurut Muslim tergolong jenis khabar kelompok ketiga, ke dalam Shahih Muslim untuk mutaba’ah dan syawahid. Dengan demikian, pernyataan Muslim di atas tidak berlaku mutlak.

Yahya bin Ma’in

Mereka yang memandang bahwa Yahya bin Ma’in menolak hadits dhaif dalam fadhail merujuk kepada Uyun Al Atsar (1/25). Dalam kitab tersebut Ibnu Sayidi Annas menyebutkan bahwa Yahya bin Ma’in menyamakan khabar mengenai sejarah dan khabar ahkam, hingga kedua-duanya harus berlandaskan hadits shahih.

Akan tetapi, pernyataan ini bertentagan dengan pernyaataan beberapa huffadz. Al Khatib Al Baghdadi dalam Kifayah (hal. 213), serta As Sakhawi dalam Fath Al Mughits (1/223), menyatakan bahwa Ibnu Ma’in berpendapat bahwa hadits dhaif dalam hal selain halal dan haram bisa dipakai.

Syeikh Nur As Syaif pun mengomentari pernyataan Ibnu Sayidi Annas dalam muqadimah Tarikh Ibnu Ma’in (1/107), “Beliau telah menulis periwayatan tentang al maghazi (peperangan) dari Al Bakka’i, yang menyatakan bahwa di dalamnya ada perawi laisa bisyai’. Dan beliau mengatakan,”Tidak mengapa dalam maghazi, akan tetapi untuk yang lainnya tidak.”

Ibnu Adi dalam Al Kamil (1/366), menukil dari Abnu Abi Maryam,”Saya mendengar Yahya bin Ma’in mengatakan, Idris bin Sinan ditulis haditsnya dalam masalah ar riqaq (akhlak).”

Ibnu Al Arabi Al Ma’afiri

Beliau adalah, disamping muhadits juga fuqaha’ madzhab Maliki, yang berjalan di atas madzhabnya yang menggunakan hadits mursal. Dan pernyataan beliau dalam Al Aridhah Al Ahwadzi (10/205), saat menerangkan Kitab Al Adab dalam Jami’ At Tirmidzi,”Diriwayatkatkan oleh Abu Isa sebuah hadits majhul,’jika kamu ingin maka puasalah, jika tidak maka tidak perlu,’ walau ini majhul, akan tetapi mustahab beramal dengannya, karena menyeru kebaikan…”

Dengan demikian, pernyataan Syeikh Al Qasami mengenai sejumlah huffadz yang menolak secara mutlak penggunaan hadits dhaif dalam fadhail menjadi lemah, setelah ditahqiq. Allahu’alam.

• Diambil dari pembahasan Syeikh Dr. Mamduh dalam At Ta’rif

Rujukan utama

1. At Ta’rif, Mahmud Said Mamduh, cet.2, tahun 2002, Dar Al Buhuts li Ad Dirasat Al Islamiyah wa Ihya’ At Turats, Emirat.

Rujukan Pendukung

2. Dhafar Al Amani, Imam Al Laknawi, tahqiq Abdul Fattah Abu Ghuddah, cet. 3, tahun 1416 H, Maktab Al Mathbu’at Al Islamiyah, Beirut.

3. Shahih Muslim Syarh An Nawawi, tahqiq Ishamuddin Shababity dkk, cet. Tahun 2005, Dar Al Hadits, Kairo.

Sumber : http://almanar.wordpress.com/

Oke...mungkin sedikit informasi dari babahe, semoga bisa menambah pengetahuan kita bersama. Amien.... Baca selengkapnya...

Minggu, 28 Februari 2010

Salaman setelah sholat

Imam An nawawi mengatakan salaman ba'da shalat itu bid'ah mubahah , begitu pula kata izzuddin bin abdusalam, syaikh abdul halim hamid, para ulama al azhar, india, pakistan .., seaan Indonesia.



kata imam nawawi .............

وَأَمَّا هَذِهِ الْمُصَافَحَةُ الْمُعْتَادَةُ بَعْدَ صَلَاتَيْ الصُّبْحِ وَالْعَصْرِ فَقَدْ ذَكَرَ الشَّيْخُ الْإِمَامُ أَبُو مُحَمَّدِ بْنُ عَبْدِ السَّلَامِ رحمه الله أَنَّهَا مِنْ الْبِدَعِ الْمُبَاحَةِ وَلَا تُوصَفُ بِكَرَاهَةٍ وَلَا اسْتِحْبَابٍ، وَهَذَا الَّذِي قَالَهُ حَسَنٌ، وَالْمُخْتَارُ أَنْ يُقَالَ: إنْ صَافَحَ مَنْ كَانَ مَعَهُ قَبْلَ الصَّلَاةِ فَمُبَاحَةٌ كَمَا ذَكَرْنَا، وَإِنْ صَافَحَ مَنْ لَمْ يَكُنْ مَعَهُ قَبْلَهَا فَمُسْتَحَبَّةٌ؛ لِأَنَّ الْمُصَافَحَةَ عِنْدَ اللِّقَاءِ سُنَّةٌ بِالْإِجْمَاعِ لِلْأَحَادِيثِ الصَّحِيحَةِ فِي ذَلِكَ

"ada pun berjabat tangan ini adalah adat kebiasaan setelah shalat subuh dan asar. asy syekh al imam abu muhammad izuddin bin abdussalam -rahimahulah- mengaktegorikan iu sebagai bid'ah mubahah (bid'ah yang boleh), dan tidak menyifatinya sebagai perbuatan makruh dan tidak pula sunah. dan cukup baik apa yang dikatakannya ini, namun pendapat yang dipilih (dalam madzhab syafi'i, pen) adalah: sesungguhnya berjabat tangan (setelah shalat) bagi orang yang sudah bertemu bersamanya sebelum shalat maka itu boleh seperti yang telah kami sebutkan, dan jika berjabat tangan bagi orang yang sebelumnya belum bertemu maka itu sunah, karena berjabat tangan ketika brjumpa adalah sunah menurut ijma', sesuai hadits-hadits shahih tentang itu." (AL majmu' syarh al muhadzdzab, Kitabush shalah, 3/325. 2003M- 1423H. dar 'aalim al kitab)



kata imam izuddin bin abidssalam ..

والبدع المباحة أمثلة. منها: المصافحة عقيب الصبح والعصر، ومنها التوسع في اللذيذ من المآكل والمشارب والملابس والمساكن


dan bid'ah mubahah, misalnya adalah; salaman setelah shalat subuh dan 'asar, berlapang-lapang dalam masalah yang enak-enak berupa makanan, minuman, pakaian dan tempat tinggal ...

(Qawaidul Ahkam fi mashalihil anam, 2/173. darul maarif - beirut) Baca selengkapnya...