Kamis, 29 September 2016

Sejarah : Abdullah Aziz ibn Abdullah ibn Baaz dan Dakwah Salafiyyah Al-Muhtasiba

Berbarengan dengan meningkatnya eksplorasi minyak, ribuan ahli minyak dan ahli konstruksi dari Barat membanjiri wilayah Arab Saudi. Kedatangan mereka ditentang sebagian ulama. Salah satu penentang yang gigih adalah ulama muda bernama Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ( 1909-1999). Ia seorang ulama ahli hadis yang mengalami kebutaan di usia remaja. Kelak ia menjadi tokoh penting gerakan Salafy abad ke-20. Dalam fatwanya, yang dikeluarkan pada 1940-an, ia menolak kehadiran kehadiran orang Barat di Arab Saudi. Ia mengemukakan hadis Nabi yang melarang orang-orang kafir tinggal di Jazirah Arab. Seruan ini sama persis dengan seruan Usamah bin Ladin pada awal 1990-an. Ia juga menyatakan haram hukumnya mempekerjakan pegawai non muslim di Jazirah Arab. Tindakan ini membuat marah raja. . Ulama muda ini dianggap lancang melawan kebijakan kerajaan. Sebagai hukumannya ia dipenjara. Penjara tidak menghancurkan reputasi Abdullah bin Baz, selepas dari penjara, ia tetap disegani sebagai ulama yang kritis. Pada 1961 berdiri Universitas Islam Madinah. Andullah bin Baz mengajar di sana. Posisinya sebagai pengajar tak menghalanginya untuk menentang berbagai kebijkan pemerintah yang dianggapnya bertentangan dengan ajaran wahhabi. Ia mengecam kebijakan yang mengizinkan rokok dijual bebas, pada di mata Bin Baz, rokok sama haramnya dengan babi dan alkohol. Ia menyerang praktik pemerintah yang menempatkan potret-potret raja di dinding perkantoran. Bin Baz menganggap praktik ini bisa menggelincirkan seorang muslim pada kemusyrikan. Menurutnya, menggantungkan gambar bia membuat orang yang melihatnya mengagumi dan menyembahnya, terutama jika itu gambar seorang raja.
Bin Baz memang sangat khawatir dengan terkikisnya wahhabisme di masuarakat dan kerajaan oleh nilai dan produk modernitas. Sejak 1960-1n, peemrintah Arab Saudi memang telah mengambil kebijakan-kebijakan yang kontroversial di mata ajaran wahhabi. Pada 1962, Saudi mencabut hukum perbudakan. Setahun kemudian, pihak kerajaan tanpa mempedulikan protes-protes para ulama dan masyarakat, memperkenalkan pendidikan bagi wanita. Bahkan pada 1965, kerajaan Arab Saudi mendirikan Televisi Saudi. Penayangan pertama TV ini memicu kerusuhan di kota Riyadh. Massa yang protes menganggap bahwa penayangan ambar di TV telah melanggar ajaran wahhabi yang memang melarang ntuk menggambar makhluk hidup.
Pada pertengahan 1960-an, murid-murid Abdullah bin Baz di Madinah sepakat membentuk Jama'ah Salafiyyah Al Muhtasiba (JSM) yang kelak menjadi cikal bakal gerakan salafy atau neo-wahhabi. Bin Baz sendiri diangkat menjadi semacam pemimpin spiritual di gerakan ini. Selain berdakwah dan mencegah kemungkaran (hisbah), gerakan baru ini melakukan semacam revisi terhadap paraktik-praktik ibadah versi Wahhabi, dengan menyeleksi ulang secara ketat hadis-hadis Nabi yang dijadikan rujukan dalam tata peribadatan. Selain Bin Baz, kelompok baru ini sangat terpengaruh oleh pemikiran Syaikh Nashiruddin al-Albaniy (1914-1999), ahli hadis dari Syria. Al-Albaniy menganggap bahwa ajaran Wahhabi kurang selektif dalam memilih hadis-hadis yang dijadikan dalil untuk ibadah. Dia melihat masih banyak hadis-hadis tidak shahih dijadikan dalil, di anataranya dalam shalat. Ia menulis buku Sifat Shalat Nabi yang berisi tata cara shalat versi hadis-hadis shahih, Isi buku ini menimbulkan kontroversi di Saudi, soalnya buku ini seakan mengkritik berbagai atat cara shalat yang sudah biasa dilakukan kaum Wahhabi yang merujuk keprada mazhab Hanbali. Diduga gara-gara kontrversi ini, al-Albaniy kemudiandiusir dari saudi pada 1963. Namun merskipun tak tinggal di Saudi, ia tetap membangun hubungan erat dengan Bin Baz.
Sementara itu, mulai tahun 1970 pengaruh JSM makin meluas dan meraih banyak pendukung, baik darikalangan ulama yang umumnya murid Syaikh Bin baz, seperti Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan, juga dari kalangan masyarakat umum. Mereka membangun markas gerakan di madinah yang mereka sebut bayt al-Ikhwan. Hingga 1976, JSM berhasil mendirikan cabang-cabang di berbagai kota besar di Arab saudi seperti Mekkah, Riyadh, Jeddah, Thaif, Ha'il, Abha, Damman dan Burayda. Kelompok ini menempatkan Syaikh al-albaniy dalam poisis terhormat sejajar dengan Syaikh Bin Baz. Pendapat-pendapatnya selalu dijadikan rujukan. Setahu sekai, biasanya di musim haji, ulama asal Syria ini datang ke Saudi, dan memberikan ceramah kepada para pengikut JSM. Selain itu, JSM juga membangun hubungan dengan berbagai kelompok Wahabi di luar Saudi, seperti kelompok Ahlu Hadis di Pakistan dan Kelompok Anshar As-Sunnah Al-Muhammadiyyah di Mesir. Ualam-ulama dari kedua organisasi ini juga sering memberikan eramah di Bayt al-Ikhwan saat mereka berkunjung ke Madinah.
Pada 1980, JSM semakin meluaskan pengaruhnya, tak hanya di saudi, bahkan hingga ke negara-negara Islam lainnya. Ini tak bisa dilepaskan dari kucuran dana yang melimpah dari pemerintah. Walaupun kerajaan saudi terang-terangan menyatakan sistem hukum mereka berlandaskan pada ajaran salafy, namun baru pada 1980 pemerintah Arab saudi serius mendukung habis-habisan dakwah salafy. Bantuan keuangan ini tentu saja tak bisa dilepaskan dari berkah yang dinikmat oleh Arab Saudi gara-gara melonjaknya harga pada tahun 1970-an. Namun ini bukan satu-satunya alasan. Ada alasan lain yang jauh lebih penting bagi rezim Saudi, yaitu huru hara politik yang terjadi di dalam dan di luar negeri. Di dalam negeri terjadi peristiwa Mekkah Berdarah pada 20 November 1979. Hari iutu JUhaim Al-Utaibah, mantan pengikut JSM, bersama sekitar 300 orang pengikutnya yang bersenjata menduduki Haram Al Syarif Mekkah, dan menyandera ummat islam yangs edang melaksankan haji. Juhaim kemudian menyerukan pemberontakan terhadap pemerintah Arab saudi yang dianggap telah menyimpang dari ajaran-ajaran salafy. Penyimpangan-penyimpangan yang dituduhkan antara lain Pemerintah saudi telah mengizinkan praktik penayangan gambar makhluk hidup di foto, televisi, termasuk gambar wanita. Tak hanya itu, mereka juga mengkritik pemberian izin bagi wanita bekerja di luar rumah, serta izin peredaran minuman berakohol di wilayah yang dihuni orang asing. Namun pemberontakan ini berumur pendek. Setelah melalui baku tembak berhari-hari, pada 4 Desember 1979 aparat keamanan arab saudi berhasil memadamkan pemberontakan Juhaim Al-Utaibah dan kawan-kawannya.
Bersambung....
Solahuddin, "NII Samapi JI : Salafy Jihadisme di Indonesia', Halaman (15-18)

diketik oleh akhina : Roy Anwar (https://www.facebook.com/roy.anwar.3)

Baca selengkapnya...

Kamis, 03 Juni 2010

Pentingnya adab sebelum ilmu

sumber : DDI myQuran.com

Pentingnya Adab-adab dalam menuntut 'Ilmu. berikut beberapa petikan dari para imam tentang pentingnya adab :

Al-Khathib Al-Baghdadiy meriwayatkan dari Al-Imam Malik bin Anas Rohimahulloh, beliau berkata: Berkata Ibnu Sirin: "Mereka (para shahabat dan tabi'in) mempelajari al-huda (petunjuk tentang permasalahan adab dan yang sejenisnya) sebagaimana mereka mempelajari ilmu." (Al-Jaami' li Akhlaaqir Raawii wa Aadaabis Saami', 1/79)

Dari Al-Imam Malik Rohimahulloh juga, dari Ibnu Syihab, beliau berkata: "Sesungguhnya ilmu ini adalah adabnya Alloh, yang telah Alloh ajarkan kepada Nabi-Nya dan demikian juga telah diajarkan oleh Nabi kepada ummatnya; amanatnya Alloh kepada Rosul-Nya agar beliau melaksanakannya dengan semestinya. Maka barangsiapa yang mendengar ilmu maka jadikanlah ilmu tersebut di depannya, yang akan menjadi hujjah antara dia dan Alloh 'Azza wa Jalla." (Ibid. 1/79)

Dari Ibrahim bin Hubaib Rohimahulloh, beliau berkata: Berkata ayahku kepadaku: "Wahai anakku, datangilah para fuqoha dan para 'ulama, dan belajarlah dari mereka serta ambillah adab, akhlak dan petunjuk mereka, karena sesungguhnya hal itu lebih aku sukai untukmu daripada memperbanyak hadits." (Ibid. 1/80)

Dari Ibnul Mubarak Rohimahulloh, beliau berkata: Berkata Makhlad bin Al-Husain Rohimahulloh kepadaku: "Kami lebih butuh untuk memperbanyak adab daripada memperbanyak hadits." (Ibid. 1/80)

Hal ini dikarenakan kalau seseorang sibuk memperbanyak hadits dan menghafalnya akan tetapi tidak beradab dengan adab-adab yang telah dipraktekkan oleh para 'ulama niscaya ilmu tadi tidak akan bermanfa'at. Akan tetapi orang yang belajar adab niscaya dia akan terus mencari tambahan ilmu dengan di'amalkan dan diterapkan adab-adab yang telah dipelajarinya.

Dari Zakariyya Al-'Anbariy Rohimahulloh, beliau berkata: "Ilmu tanpa adab seperti api tanpa kayu sedangkan adab tanpa ilmu seperti ruh tanpa jasad." (Ibid. 1/80)

Dari Malik bin Anas Rohimahulloh, bahwasanya ibunya berkata kepadanya: "Pergilah ke Rabi'ah lalu pelajarilah adabnya sebelum ilmunya." (Tanwiirul Hawaalik Syarh Muwaththa` Al-Imaam Maalik, hal.164)

Maroji' : Aadaabu Thaalibil 'Ilmi hal.23-25 dengan beberapa perubahan.


Beriku juga petikan dari Kitab “At Tajj al Mafquud”, edisi Indonesia “Mahkota yang Hilang” karya Faishol bin ‘Abduh Qo’id al Hasyidi ; Penerbit Cahaya Ilmu Press :

Sesungguhnya perilaku yang baik merupakan salah satu akhlaq agung yang dimiliki para Nabi. Akhlaq ini akan memakaikan baju kewibawaan dan kemuliaan kepada pemiliknya, serta akan menghiasinya dengan keteguhan dan ketenangan.

Ibnu Muflih Rohimahulloh berkata : “Dahulu majelis (Al-Imam) Ahmad Rohimahulloohu Ta'aala dihadiri sekitar 5000 orang atau lebih. Yang menulis kurang dari 500 orang. Adapun sisanya, belajar adab dan samt yang baik dari beliau.”

Ibnul Jauzi Rohimahulloh berkata : “Sungguh dahulu ada sekelompok salaf yang sengaja pergi menuju seorang hamba yang sholih untuk melihat samt dan hadyu, bukan untuk mengambil ilmunya. Karena samt dan hadyu merupakan buah dari ilmunya.”

Makhlad bin Husain Rohimahulloh berkata : “Kami terhadap sedikitnya adab lebih butuh daripada banyaknya hadits.”

Abu Zakariya Yahya bin Muhammad Al ‘Anbariy Rohimahulloh berkata : “Ilmu tanpa adab bagai api tanpa kayu bakar, sedangkan adab tanpa ilmu bak ruh tanpa jasad.”

Al Laits bin Sa’ad Rohimahulloh berkata kepada Ashaabul Hadits : “Pelajarilah oleh kalian al-Hilm sebelum (kalian belajar) ilmu.”

Ibrahim an-Nakha’i Rohimahulloh berkata : “Dahulu bila mereka mendatangi seseorang untuk mengambil ilmu darinya, mereka melihat terlebih dahulu kepada sholatnya, samt, dan penampilannya. Setelah itu barulah mereka mengambil ilmu darinya.”

Muhammad bin Sirin Rohimahulloh berkata : “Sungguh ilmu ini adalah agama, maka perhatikan dari mana kalian mengambil agama kalian.”

Sungguh samt dan 'ilmu merupakan pasangan. Samt tidaklah akan sempurna kecuali dengan 'ilmu, dan 'ilmu juga tidak akan sempurna kecuali dengan Samt.

Note :
As-Samt : Baiknya perilaku (akhlaq dan adab) dalam perkara agama
Al-Hadyu : Tingkah laku dan Cara hidup

Dari ke dua Maroji' di atas nampak begitu besarnya perhatian terhadap Adab dan Akhlaq dalam menuntut ilmu, sehingga "barokah" atas 'ilmu yang di pelajari dari para Masyaikh insya alloh akan nampak dalam pengamalan maupun ketika ber muasyaroh terhadap para pelajar 'ilmu lain, dan juga akan timbul Himmah yang besar dalam diri para pelajar utk khidmat terhadap ilmu itu sendiri. Baca selengkapnya...

Kamis, 11 Maret 2010

Peunggunaan hadist dhoif bolehkah??

Sebagaimana diketahui, pernyataan adanya ijma’ ulama, mengenai pembolehan dan pensunahan pengamalan hadits dhaif dalam masalah fadhail selain halal dan haram, sifat Allah dan aqidah, disebutkan oleh Imam An Nawawi dalam muqadimah kitab Al Arba’ain An Nawawiyah (hal.3)

Beberapa ulama yang menegaskan apa yang disampaikan Imam An Nawawi ini adalah Ibnu Hajar Al Haitami Al Makki dalam Fathu Al Mubin (hal. 32) dan Syeikh Al Ghumari dalam Al Qaul Al Muqni’ (hal.2,3).

Sedangkan mereka yang berseberangan dengan pendapat Imam An Nawawi, mengenai adanya ijma’ bolehnya pemakaian hadits dhaif dalam fadhail merujuk kepada pendapat Al Allamah Al Qasimi dalam Al Qawaid At Tahdits (hal. 113), dalam kitab itu beliau menyatakan bahwa beberapa ulama menolak penggunaan hadits dhaif dalam fadhail. Mereka adalah Al Bukhari, Muslim, Yahya bin Ma’in serta Ibnu Al Arabi.

Dengan demikian, menurut kelompok ini, klaim An Nawawi mengenai adanya kesepakatan ulama gugur, karena beberapa ulama menolak penggunaan hadits dhaif dalam fadhail, seperti yang disebutkan Al Qasimi.

Bagaimana duduk masalah sebenarnya? Tepatkah pendapat Al Qasimi tersebut, bahwa Imam Al Bukhari, Muslim, Yahya bin Ma’in serta Ibnu Al Arabi sepeti yang beliau katakan, yakni menolak hadits dhaif dalam Al Fadhail? Inilah tujuan penulisan artikel ini.

Imam Al Bukhari

Beberapa ulama menyebutkan bahwa penyandaraan pendapat yang menolak hadits dhaif untuk fadhail terhadap Imam Bukhari adalah kurang tepat, karena beliau juga menjadikan hadits dhaif untuk hujjah. Ini bisa dilihat dari kitab beliau Al Adab Al Mufrad, yang bercampur antara hadits shahih dan dhaif. Dan beliau berhujjah dengan hadits itu, mengenai disyariatkannya amalan-amalan. Ini bisa dilihat dari judul bab yang beliau tulis.

Syeikh Abdul Fattah Abu Ghuddah, telah menulis masalah ini dalam komentar beliau terhadap kitab Dhafar Al Amani, karya Imam Al Laknawi (hal. 182-186), dengan merujuk kitab Fadhullah As Shamad fi Taudhih Al Adab Al Mufrad, karya Syeikh Fadhlullah Al Haidar Al Abadi Al Hindi, ulama hadits dari India yang wafat pada tahun1399 H.

Tidak hanya dalam Al Adab Al Mufrad, dalam Shahihnya pun kasus hampir serupa terjadi. Ibnu Hajar Al Asqalani menyebutkan dalam Hadyu As Sari (2/162), saat menyebutkan perawi bernama Muhammad bin Abdurrahman At Tufawi, yang oleh Abu Zur’ah dikatakan “mungkarul hadits” belaiua mengatakan bahwa dalam Shahih Al Bukhari ada 3 hadits yang diriwayatkan oleh perawi tersebut dan semuanya dalam masalah riqaq (hadits akhlak dan motifasi), dan ini tergolong gharaib dalam Shahih Al Bukhari, hingga Ibnu Hajar mengatakan,”Sepertinya Bukhari tidak memperketat, karena termasuk hadits targhib wa tarhib”.

Imam Muslim

Adapun perkataan Imam Muslim dalam muqadimah As Shahih, tidak bisa diartikan sebagai larangan mutlak atas penggunaan hadits dhaif dalam fadhail. Muslim mengatakan dalam muqadimah Shahih beliau,” Dan ketahuilah-wafaqakallah-bahwa wajib bagi siapa saja untuk membedakan antara shahih riwayat dan saqimnya, serta orang-orang tsiqah yang menukilnya daripada mereka yang tertuduh (memalsukan). Tidak meriwayatkan darinya (periwayatan), kecuali yang diketahui keshahihan outputnya dan yang terjaga para periwatnya, serta berhati-hati terhadap periwayatan mereka yang tertuduh, dan para ahli bid’ah yang fanatik.” (Muslim dengan Syarh An Nawawi (1/96)

Syeikh Dr. Mahmud Said, ulama hadits dari Mesir mengomentari perkataan Imam Muslim di atas. Dalam At Ta’rif (1/99) beliau mengataan,”maknanya, wajib bagi siapa saja yang ingin menyendirikan hadits shahih dan mengetahui perbedaan antara shahih…” Artinya, himbauan Imam Muslim di atas untuk mereka yang ingin menyendirikan hadits shahih.

Beliau juga memandang bahwa tidak seorang hafidz pun yang telah melakukan rihlah (mencari hadits) meninggalkan periwayatan para perawi dhaif, hatta Imam Muslim. Karena itu, Imam Muslim memasukkan perawi lemah dan mutruk, yang menurut Muslim tergolong jenis khabar kelompok ketiga, ke dalam Shahih Muslim untuk mutaba’ah dan syawahid. Dengan demikian, pernyataan Muslim di atas tidak berlaku mutlak.

Yahya bin Ma’in

Mereka yang memandang bahwa Yahya bin Ma’in menolak hadits dhaif dalam fadhail merujuk kepada Uyun Al Atsar (1/25). Dalam kitab tersebut Ibnu Sayidi Annas menyebutkan bahwa Yahya bin Ma’in menyamakan khabar mengenai sejarah dan khabar ahkam, hingga kedua-duanya harus berlandaskan hadits shahih.

Akan tetapi, pernyataan ini bertentagan dengan pernyaataan beberapa huffadz. Al Khatib Al Baghdadi dalam Kifayah (hal. 213), serta As Sakhawi dalam Fath Al Mughits (1/223), menyatakan bahwa Ibnu Ma’in berpendapat bahwa hadits dhaif dalam hal selain halal dan haram bisa dipakai.

Syeikh Nur As Syaif pun mengomentari pernyataan Ibnu Sayidi Annas dalam muqadimah Tarikh Ibnu Ma’in (1/107), “Beliau telah menulis periwayatan tentang al maghazi (peperangan) dari Al Bakka’i, yang menyatakan bahwa di dalamnya ada perawi laisa bisyai’. Dan beliau mengatakan,”Tidak mengapa dalam maghazi, akan tetapi untuk yang lainnya tidak.”

Ibnu Adi dalam Al Kamil (1/366), menukil dari Abnu Abi Maryam,”Saya mendengar Yahya bin Ma’in mengatakan, Idris bin Sinan ditulis haditsnya dalam masalah ar riqaq (akhlak).”

Ibnu Al Arabi Al Ma’afiri

Beliau adalah, disamping muhadits juga fuqaha’ madzhab Maliki, yang berjalan di atas madzhabnya yang menggunakan hadits mursal. Dan pernyataan beliau dalam Al Aridhah Al Ahwadzi (10/205), saat menerangkan Kitab Al Adab dalam Jami’ At Tirmidzi,”Diriwayatkatkan oleh Abu Isa sebuah hadits majhul,’jika kamu ingin maka puasalah, jika tidak maka tidak perlu,’ walau ini majhul, akan tetapi mustahab beramal dengannya, karena menyeru kebaikan…”

Dengan demikian, pernyataan Syeikh Al Qasami mengenai sejumlah huffadz yang menolak secara mutlak penggunaan hadits dhaif dalam fadhail menjadi lemah, setelah ditahqiq. Allahu’alam.

• Diambil dari pembahasan Syeikh Dr. Mamduh dalam At Ta’rif

Rujukan utama

1. At Ta’rif, Mahmud Said Mamduh, cet.2, tahun 2002, Dar Al Buhuts li Ad Dirasat Al Islamiyah wa Ihya’ At Turats, Emirat.

Rujukan Pendukung

2. Dhafar Al Amani, Imam Al Laknawi, tahqiq Abdul Fattah Abu Ghuddah, cet. 3, tahun 1416 H, Maktab Al Mathbu’at Al Islamiyah, Beirut.

3. Shahih Muslim Syarh An Nawawi, tahqiq Ishamuddin Shababity dkk, cet. Tahun 2005, Dar Al Hadits, Kairo.

Sumber : http://almanar.wordpress.com/

Oke...mungkin sedikit informasi dari babahe, semoga bisa menambah pengetahuan kita bersama. Amien.... Baca selengkapnya...

Minggu, 28 Februari 2010

Salaman setelah sholat

Imam An nawawi mengatakan salaman ba'da shalat itu bid'ah mubahah , begitu pula kata izzuddin bin abdusalam, syaikh abdul halim hamid, para ulama al azhar, india, pakistan .., seaan Indonesia.



kata imam nawawi .............

وَأَمَّا هَذِهِ الْمُصَافَحَةُ الْمُعْتَادَةُ بَعْدَ صَلَاتَيْ الصُّبْحِ وَالْعَصْرِ فَقَدْ ذَكَرَ الشَّيْخُ الْإِمَامُ أَبُو مُحَمَّدِ بْنُ عَبْدِ السَّلَامِ رحمه الله أَنَّهَا مِنْ الْبِدَعِ الْمُبَاحَةِ وَلَا تُوصَفُ بِكَرَاهَةٍ وَلَا اسْتِحْبَابٍ، وَهَذَا الَّذِي قَالَهُ حَسَنٌ، وَالْمُخْتَارُ أَنْ يُقَالَ: إنْ صَافَحَ مَنْ كَانَ مَعَهُ قَبْلَ الصَّلَاةِ فَمُبَاحَةٌ كَمَا ذَكَرْنَا، وَإِنْ صَافَحَ مَنْ لَمْ يَكُنْ مَعَهُ قَبْلَهَا فَمُسْتَحَبَّةٌ؛ لِأَنَّ الْمُصَافَحَةَ عِنْدَ اللِّقَاءِ سُنَّةٌ بِالْإِجْمَاعِ لِلْأَحَادِيثِ الصَّحِيحَةِ فِي ذَلِكَ

"ada pun berjabat tangan ini adalah adat kebiasaan setelah shalat subuh dan asar. asy syekh al imam abu muhammad izuddin bin abdussalam -rahimahulah- mengaktegorikan iu sebagai bid'ah mubahah (bid'ah yang boleh), dan tidak menyifatinya sebagai perbuatan makruh dan tidak pula sunah. dan cukup baik apa yang dikatakannya ini, namun pendapat yang dipilih (dalam madzhab syafi'i, pen) adalah: sesungguhnya berjabat tangan (setelah shalat) bagi orang yang sudah bertemu bersamanya sebelum shalat maka itu boleh seperti yang telah kami sebutkan, dan jika berjabat tangan bagi orang yang sebelumnya belum bertemu maka itu sunah, karena berjabat tangan ketika brjumpa adalah sunah menurut ijma', sesuai hadits-hadits shahih tentang itu." (AL majmu' syarh al muhadzdzab, Kitabush shalah, 3/325. 2003M- 1423H. dar 'aalim al kitab)



kata imam izuddin bin abidssalam ..

والبدع المباحة أمثلة. منها: المصافحة عقيب الصبح والعصر، ومنها التوسع في اللذيذ من المآكل والمشارب والملابس والمساكن


dan bid'ah mubahah, misalnya adalah; salaman setelah shalat subuh dan 'asar, berlapang-lapang dalam masalah yang enak-enak berupa makanan, minuman, pakaian dan tempat tinggal ...

(Qawaidul Ahkam fi mashalihil anam, 2/173. darul maarif - beirut) Baca selengkapnya...

Selasa, 29 Desember 2009

Orang tua Nabi

Dalam banyak hadits teriwayatkan ketika ditanyakan pada nabi saw:
“Apa yg kau perbuat untuk pamanmu abu thalib? Dahulu ia melindungimu, dan marah demi membelamu..,” maka Rasul saw bersabda : “Dia di pantai api neraka, kalau bukan karena aku, niscaya ia di dasar neraka yg terdalam” (Shahih Bukhari hadits no.3670, 5855, Shahih Muslim hadits no.209)

Berkata Al Hafizh Al Imam Ibn Hajar Al Atsqalaniy: “Berkata Imam Baihaqi di dalam penjelasan riwayat masalah Abu Thali : ‘Tiada makna pengingkaran karena telah shahihnya riwayat ini, dan bentuknya menurutku bahwa syafaat pada kafir terhalang sebagaimana sampainya kabar yang jelas dan benar, bahwa tiada yang bisa memberi syafaaat pada kafir seorangpun, namun ini adalah makna umum bagi semua kafir, dan boleh saja ada kekhususan darinya bagi siapa yang telah dikuatkan kekhususan baginya (Rasul saw).

Berkata sebagian mereka yang berpendapat bahwa balasan orang kafir daripada siksa adalah atas kekufurannya dan maksiatnya, maka boleh saja Allah mengurangkan sebagian dari siksa orang kafir, demi menenangkan hati sang Nabi saw pemberi syafaat, bukan karena pahala bagi orang kafir, karena pahalanya telah hapus karena kematiannya.’” (Fathul Baari Al masyhur Juz 11 hal 431).

Perhatikan ucapan Imam : “demi menenangkan hati sang nabi saw pemberi syafaat,” lalu bagaimana lagi dengan ayah bunda Nabi saw…???

Juga diriwayatkan bahwa Abbas bin Abdulmuttalib melihat Abu Lahab dalam mimpinya, dan Abbas bertanya padanya : “Bagaimana keadaanmu?” Abu lahab menjawab : “Di neraka, cuma diringankan siksaku setiap Senin karena aku membebaskan budakku Tsuwaibah karena gembiraku atas kelahiran Rasul saw” (Shahih Bukhari hadits no.4813, Sunan Imam Baihaqi Alkubra hadits no.13701, syi’bul iman no.281, fathul baari Almasyhur juz 11 hal 431).

Walaupun kafir terjahat ini dibantai di alam barzakh, namun tentunya Allah berhak menambah siksanya atau menguranginya menurut kehendak Allah swt, maka Allah menguranginya setiap hari senin karena telah gembira dengan kelahiran Rasul saw dengan membebaskan budaknya.

Walaupun mimpi tak dapat dijadikan hujjah untuk memecahkan hukum syariah, namun mimpi dapat dijadikan hujjah sebagai manakib, sejarah dan lainnya, misalnya mimpi orang kafir atas kebangkitan Nabi saw, atau pun mimpi Pendeta Buhaira atas kebangkitan Rasul saw, maka tentunya hal itu dijadikan hujjah atas kebangkitan Nabi saw, demikian pula mimpi Ibunda Rasul saw yang Allah ilhamkan untuk memberi beliau saw nama “Muhammad”, tentunya mustahil nama Muhammad itu datang dari bibir musyrik. Itulah mimpi yang benar.

Maka para Imam diatas yang meriwayatkan hal itu tentunya menjadi hujjah bagi kita bahwa hal itu benar adanya, karena diakui oleh para Imam dan mereka tak mengingkarinya, bahkan berkata Imam Ibn Hajar dan Imam Assuyuthiy: “Perlu pertimbangan untuk memungkiri itu karena telah diriwayatkan dalam Shahih Bukhari.”

Karena memang shahih Bukhari adalah kitab hadits tertinggi dan terkuat dari semua kitab hadits, dan Imam Bukhari digelari Sayyidul Muhadditsin (Raja para Ahli Hadits), gelar ini dikatakan oleh Imam Muslim yang ta’jub ketika melihat Imam Bukhari dapat menjawab dengan mudah permasalahan yang tak bisa dipecahkan olehnya, maka berkata Imam Muslim: “Izinkan aku mencium kedua kakimu wahai Guru para Guru Ahli Hadits, wahai Raja para ahli hadits, wahai penyembuh hadits dari ilatnya..!”

Dengan penjelasan diatas, bila Abu Thalib yang hidup di masa Nabi dapat syafaat Rasul saw hingga teringankan siksanya, dan bahkan Raja semua kafir yaitu Abu lahab bahkan mendapat keringanan siksanya karena pernah membebaskan budaknya yaitu Tsuwaibah karena gembiranya menyambut kelahiran Nabi SAW, maka bagaimana lagi ayah bunda Rasul saw, yang melahirkan Nabi saw, dan mereka tak sempat hidup di masa kebangkitan Risalah Nabi saw dan tak sempat kufur atau pun menolak ajaran Rasul saw?

Demikian pendapat sebagian ulama bahwa ayah dan ibu Nabi SAW bebas dari kemusyrikan dan neraka, karena wafat sebelum kebangkitan Risalah, dan tak ada pula nash yg menjelaskan mereka menyembah berhala. Diantara Ulama yg berpendapat bahwa ayah bunda Nabi bukan musyrik adalah :
Hujjatul Islam Al Imam Syafii dan sebagian besar ulama syafii, Al Hafidh Al Muhaddits Al Imam Qurtubi, Al Hafidh Al Imam Assakhawiy, Al hafidh Al Muhaddits Al Imam Jalaluddin Abdurrahman Assuyuthi yg mengarang sebuah buku khusus tentang keselamatan ayah bunda nabi saw, Al hafidh Al Imam Ibn Syaahin, Al Hafidh Al Imam Abubakar Al baghdadiy, Al hafidh Al Imam Attabari, Al hafidh Al Imam Addaruquthniy, dan masih banyak lagi yang lainnya.

Satu hal yang buruk pada jiwa para wahhabi, adalah mengumpat Nabi saw dg pembahasan ini. Naudzubillah dari jiwa busuk yang mengumpat Rasulullah saw, menuduh bunda Nabi kafir musyrik. Lalu bagaimana bila hal ini tak benar? Sungguh kekufuran akan berbalik kepada mereka.

Saudaraku, beribu maaf, misalkan seseorang bernama Amir tak jelas apakah ayah ibunya muslim atau kafir. Lalu Zeyd menukil 100 cara untuk menjelaskan pada orang banyak bahwa ayah dan ibunya Amir adalah musyrik dan kafir. Bukankah berarti Zeyd memusuhi Amir? Bukankah ini umpatan terburuk? Bukankah jelas-jelas Zeyd mengumpat Amir? Bukankah berarti ia musuh besar Amir?

Mereka berkata : “Kami taqlid kepada para Mujtahid.” Ketahuilah, taqlid kepada para mujtahid membutuhkan sanad, bukan taqlid kepada buku.

Dan pendapat yang shahih dalam madzhab Syafi’i bahwa ayah bunda Nabi saw selamat karena tergolong ahlul fithrah, karena tak ada bukti bahwa mereka menyembah berhala.

Mengenai hadits : “Ayahku dan ayahmu di Neraka” (HR. Shahih Muslim)

Kalimat “Abiy” dalam ucapan Nabi saw diatas tak bisa diterjemahkan mutlak sebagai ayah kandung, sebagaimana firman Allah SWT : “Berkata Ya’kub ketika akan wafat kepada putra-putranya : ‘apa yg akan kalian sembah setelah wafatku nanti?’ Mereka menjawab : ‘Kami menyembah Tuhanmu, dan Tuhan ayah-ayahmu yaitu Ibrahim, dan Ismail dan Ishaq… (QS. Al-Baqarah 133)

Jelas sudah bahwa ayah dari Ya’qub hanyalah Ishaq, sedangkan Ibrahim adalah kakeknya, dan Ismail adalah paman Ya’qub. Namun mereka mengatakan : ‘ayah-ayahmu’ namun bermakna : ‘ayahmu, kakekmu, dan pamanmu’. Karena dalam kaidah Arabiyyah sering terjadi ucapan ayah, adalah untuk paman.

Bila siksa, keringanan dan ampunan adalah urusan Allah, dan Allah meringankan Abu lahab, dan meringankan Abu Thalib, maka lebih-lebih ayah bunda Nabi saw.

Berkata Al Hafizh Al Imam Jalaluddin Abdurrahman Assuyuthi dalam kitabnya Masalikul Hunafaa’ fi Abaway Musthofa, bahwa riwayat hadits shahih Muslim itu diriwayatkan oleh Hammad, dan ia adalah Muttaham (tertuduh), dan Imam Muslim tidak meriwayatkan hadits lain darinya kecuali ini. Dan riwayat hadits itu (ayahku dan ayahmu di neraka) adalah hadits riwayat Hammad sendiri, dan Hammad dianggap sebagai orang yang lemah hafalannya, dan ia terkelompok dalam orang yang hadits-hadistnya banyak diingkari, karena lemah hafalannya dan Imam Bukhari tidak menerima Hammad, dan tak mengeluarkan satu hadits pun darinya.

Dan Imam Muslim tak punya riwayat lain dari Hammad kecuali dari Tsabit ra dari riwayat ini, dan telah berbeda riwayat lain dari Muammar yang juga dari Tsabit ra dari Anas ra dengan tidak menyebut lafazh : ‘ayahku dan ayahmu di neraka,’ tetapi dikatakan padanya “Bila kau lewat di kubur orang-orang kafir, fabassyirhu binnaar”, dan riwayat ini Atsbat (lebih kuat) haytsu riwayat (dari segi riwayatnya), karena Muammar jauh lebih kuat dari Hammad, sungguh Hammad telah dijelaskan bahwa ia lemah dalam hafalannya dan pada hadits haditsnya banyak yang terkena pengingkaran.

Berkata Al-Hafizh Al-Imam Nawawi : “Ketika khabar ahad bertentangan dengan Nash Alqur’an atau ijma’, maka wajib ditinggalkan zhohirnya” (Syarh Muhadzab Juz 4 hal 342)

Berkata Al Hafizh Al Imam Ibn Hajar Al Atsqalaniy yang menyampaikan ucapan Al Kirmaniy bahwa yang menjadi ketentuannya adalah “Khabar Ahad adalah hanya pada amal perbuatan, bukan pada I’tiqadiyyah” (Fathul Baari Almasyhur Juz 13 hal 231)

Berkata Al hafizh Al Imam Assuyuthiy bahwa Hadits Shahih bila dihadapkan pada Hadits lain yang lebih kuat maka wajib penakwilannya dan dimajukanlah darinya dalil yang lebih kuat sebagaimana hal itu merupakan ketetapan dalam Ushul (Masaalikul Hunafa fii Abaway Mustofa hal 66)

Berkata Imam Al Hafizh Jalaluddin Abdurrahman Assuyuthiy bahwa hadits riwayat Muslim abii wa abaaka finnaar (ayahku dan ayahmu di neraka), dan tidak diizinkannya nabi saw untuk beristighfar bagi ibunya telah MANSUKH dengan firman Allah swt : “Dan kami tak akan menyiksa suatu kaum sebelum kami membangkitkan Rasul” (QS. Al-Isra 15). [Rujuk Masaalikul Hunafa fii Abaway Musthofa hal. 68 dan Addarajul Muniifah fii Abaway Musthofa hal. 5 yang juga oleh beliau]

Dikeluarkan oleh Ibnu Majjah dari Ibrahim bin Sa’ad dari Zuhri dari Salim dari ayahnya yang berkata: Datanglah seorang dusun kepada Nabi SAW, dan berkata, “Yaa Rasulullah! Inna abi kaana yasilur-raha wa kaana wa kaana… fa aina huwa?” Qaala, “Finnaar.” Qaala: Fa ka-annahu wajada min dzalik. Faqaala: “Yaa rasulullah! Fa aina abuuk?” Faqaala SAW haistu marorta fi qabr kafir, fa bassyirhu binnaar, fa aslama a’rabiy ba’d. faqaala law qad kallafani rasulullah saw taba’an, ma marortu bi qabr kafir illa bassyartuhu binnar.

Maka jelaslah bahwa Imam Muslim dan Imam Nawawi mengambil riwayat ini bukan bermaksud menuduh ayah kandung nabi saw kafir, namun sebagai penjelas bahwa paman-paman nabi saw ada banyak yang dalam kekufuran, karena menolak risalah Nabi saw, termasuk Abu Lahab. Bahkan Abu Thalib pun dalam riwayat shahih Bukhari bahwa ia di Neraka.

Berkata Al Hafizh Al Imam Jalaluddin Abdurrahman Assuyuthiy:
Dikatakan oleh Al Qadhiy Abu Bakar Al A’raabiy bahwa orang yang mengatakan ayah bunda Nabi di neraka, mereka (yang berkata seperti itu) di laknat oleh Allah SWT, karena Allah SWT telah berfirman : “Sungguh mereka yang menyakiti dan mengganggu Allah dan Nabi-Nya, mereka dilaknat Allah di dunia dan akhirat, dan dijanjikan bagi mereka azab yang menghinakan.” (QS. Al-Ahzab: 57)

Berkata Qadhiy Abu Bakar, “Tiadalah hal yg lebih menyakiti Nabi SAW ketika dikatakan bahwa ayahnya berada di neraka, dan sungguh telah bersabda Nabi saw : ‘Janganlah kalian menyakiti yang hidup karena sebab yang telah wafat.’ (Masalikul Hunafa’ hal. 75 li Imam Suyuti)

Adakah satu ucapan Imam Nawawi yang mengatakan bahwa Abdullah bin Abdul Muththalib dan Aminah adalah musyrik penyembah berhala? Tidak ada. Bahkan Nabi SAW sendiri menjelaskan bahwa ayah-ayahnya adalah suci, sebagaimana sabda beliau saw :
“Aku Muhammad bin Abdillah bin Abdul Muttalib, bin Hasyim, bin Abdu Manaf, bin Qushay, bin Kilaab, bin Murrah, bin Ka’b bin Lu’ay bin Ghalib bin Fihir bin Malik bin Nadhar bin Kinaanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudharr bin Nizaar. Tiadalah terpisah manusia menjadi dua kelompok (nasab) kecuali aku berada diantara yg terbaik dari keduanya. Maka aku lahir dari ayah ibuku dan tidaklah aku terkenai oleh ajaran jahiliyah, dan aku terlahirkan dari nikah (yang sah), tidaklah aku dilahirkan dari orang jahat sejak Adam sampai berakhir pada ayah dan ibuku. Maka aku adalah pemilik nasab yang terbaik diantara kalian, dan sebaik-baik ayah nasab.” (Ditakhrij oleh Imam Baihaqi dalam Dalailun Nubuwwah dan Imam Hakim dari Anas ra).

Hadits ini diriwayatkan pula oleh Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya Juz 2 halaman 404. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Ath-Thabari dalam tafsirnya Juz 11 halaman 76.

Juga sabda Nabi saw : “Aku Nabi yang tak berdusta, aku adalah putra Abdul Muththalib.” (Shahih Bukhari hadits no.2709, 2719, 2772, Shahih Muslim hadits no. 1776. Hadits ini diriwayatkan pula oleh Imam Nawawi dalam syarh Shahih Muslim.)

Bila Abdul Muttolib kafir, maka adakah nabi akan membanggakan kakeknya yang kafir dalam peperangan? Dan Anda lihat pula dalam hadits ini bahwa putera bermakna cucu.

Tentunya mengenai hal ini telah jelas. Bahkan paman Nabi SAW pun disyafa’ati oleh Rasul SAW. Demikian pula Abu Lahab sebagaimana riwayat Shahih Bukhari. Dan makna ayah dalam hadits itu adalah paman.

Demikian pula ucapan Nabi saw kepada Sa’ad bin Abi Waqqash ra di peperangan Uhud ketika Nabi saw melihat seorang kafir membakar seorang Muslim, maka Rasul saw berkata pada Sa’ad : “Panah dia, jaminan keselamatanmu adalah ayah dan ibuku!” Maka Sa’ad bin Abi Waqqash ra berkata dengan gembira : “Rasul saw mengumpulkan aku dengan nama ayah ibunya!” (Shahih Bukhari hadits no.3442 Bab Manaqib Zubair bin Awam. Riwayat yang sama pada Shahih Bukhari hadits no. 3446 Bab Manaqib Sa’ad bin Abi Waqqash. Riwayat yang sama pada Shahih Bukhari hadits no. 3750 Bab Maghaziy. Riwayat yang sama pada Shahih Bukhari hadits no. 3751 Bab Maghaziy)

Jelas sudah, mustahil Rasul saw menjadikan dua orang musyrik untuk disatukan dengan Sa’ad bin Abi Waqqash ra, dan mustahil pula Sa’ad ra berbangga-bangga namanya digandengkan dengan dua orang musyrik.

Kita lihat bagaimana saat-saat kelahiran Nabi saw.. :
Berkata Utsman bin Abil Ash Ats-Tsaqafiy dari ibunya yang menjadi pembantu Aminah bunda Nabi saw, ketika ibunda Nabi saw mulai saat-saat melahirkan, ia (ibu Utsman) melihat bintang-bintang mendekat hingga ia takut berjatuhan di atas kepalanya. Lalu ia melihat cahaya terang-benderang keluar dari Bunda Nabi saw hingga membuat terang-benderangnya kamar dan rumah. (Fathul Bari Almasyhur juz 6 hal 583)

Riwayat shahih oleh Ibn Hibban dan Hakim bahwa Ibunda Nabi saw saat melahirkan Nabi saw melihat cahaya yang terang-benderang hingga pandangannya menembus dan melihat istana-istana Romawi. Inikah wanita musyrik, kafir…?

Sabda Nabi saw : “Bila berkata seseorang kepada saudaranya wahai kafir, maka akan terkena pada salah satu dari mereka.” (Shahih Bukhari hadits no.5754)

Dan pembahasan ini saya tutup bagi yang membantah namun tak bisa menyebutkan sanadnya kepada para Muhaddits, karena mereka yang tak memiliki sanad kepada para Imam itu maka hujjahnya Maqtu’, sanadnya terputus, dan fatwanya tidak diakui dalam syariah Islam, maka ketika dua pendapat berselisih, yang lebih tsiqah dan kuat adalah yang mempunyai sanad kepada para Imam tersebut.

Wallahu a’lam

(Habib Munzir bin Fuad Al-Musawa)
Baca selengkapnya...

Selasa, 22 Desember 2009

Dalil Menjama' sholat tidak dalam perjalanan

Abdurrazaq menceritakan kepada kami, Ibnu Juraij mengabarkan kepada kami, Ibnu Bakar berkata Ibnu Juraij mengabarkan kepada kami, ia berkata Amr bin Dinar mengabarkan kepada kami bahwa Abu Asy Sya’tsa mengabarkan kepadanya bahwa Ibnu Abbas mengabarkan kepadanya, Ia berkata “Aku pernah shalat di belakang Rasulullah SAW delapan rakaat secara jamak dan tujuh rakaat secara jamak”. (Hadis Riwayat Ahmad dalam Musnad Ahmad jilid III no 3467, dinyatakan shahih oleh Syaikh Ahmad Muhammad Syakir)

Dalam salah satu riwayat Muslim, dari Said bin Jubair dari Ibnu Abbas, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan shalat Zhuhur dan ‘Ashar secara jamak di kota Madinah padahal tidak ada ketakutan, tidak pula sedang bepergian”.

Abu az Zubair mengatakan bahwa aku bertanya kepada Sa’id bin Jubair tentang mengapa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berbuat demikian. Kata Sa’id, “Hal itu sudah kutanyakan kepada Ibnu Abbas. Jawaban Ibnu Abbas, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin untuk tidak menyusahkan satupun dari umatnya’.

Dalam riwayat Muslim yang lain, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjamak shalat Zhuhur dengan Ashar dan Maghrib dengan Isya’ di Madinah padahal tidak ada rasa takut, tidak pula ada hujan” (HR Bukhari no 522 dan Muslim no 705).

Jangan tanya saya tentang yang saya Bold itu apakah dalam satu rangkaian sholat atau gimana karena sayapun belum tau!!! Baca selengkapnya...

Rabu, 09 Desember 2009

Nabi Tidak Melakukan Semua Perkara Mubah

Nabi Tidak Melakukan Semua Perkara Mubah
27/05/2008
Apabila ada orang yang mengharamkan sesuatu dengan berdalih bahwa hal itu tidak pemah dilakukan Rasulullah SAW, maka sebenamya dia mendakwa sesuatu yang tidak ada dasar hukumnya. Oleh karena itu, dakwaannya tidak dapat diterima.

Demikian Abdullah ibn ash-Shiddiq al-Ghumari dalam "Itqanush Shunnah fi Tahqiqi Ma’nal-Bid’ah". Lebih lanjut beliau mengatakan: ”Sangat bisa dipahami bahwa Nabi Muhammad SAW tidak melakukan semua perbuatan mubah, dan bahkan perbuatan sunnah, karena kesibukannya dalam mengurus tugas-tugas besar yang telah memakan sebagian besar waktunya.

Tugas berat Nabi antara lain menyampaikan dakwah, melawan dan mendebat kaum musyrikin serta para ahli kitab, berjihad untuk menjaga cikal bakal Islam, mengadakan berbagai perdamaian, menjaga keamanan negeri, menegakkan hukum Allah, membebaskan para tawanan perang dari kaum muslimin, mengirimkan delegasi untuk menarik zakat dan mengajarkan ajaran Islam ke berbagai daerah dan lain sebagainya yang dibutuhkan saat itu utnuk mendirikan sebuah negara Islam.

Oleh karena itu, Rasulullah hanya menerangkan hal-hal pokok saja dan sengaja meninggalkan sebagian perkara sunah lantaran takut memberatkan dan menyulitkan umatnya (ketika ingin mengikuti semua yang pernah dilakukan Rasulullah) jika beliau kerjakan.

Oleh karena itu, Rasulullah SAW menganggap cukup dengan menyampaikan nash-nash Al-Qur'an yang bersifat umum dan mencakup semua jenis perbuatan yang ada di dalamnya sejak Islam lahir hingga hari kiamat. Misalnya ayat-ayat berikut:

وَمَا تَفْعَلُواْ مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ اللّهُ

"Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya." (Al-Baqarah [2]: 197)

مَن جَاء بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا

"Siapa yang melakukan amal yang baik, maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat dari amal itu." (QS. Al-An'am [6]: 160)

وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

"Dan berbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan." (QS. Al-Hajj [22]: 77)

وَمَن يَقْتَرِفْ حَسَنَةً نَّزِدْ لَهُ فِيهَا حُسْناً

"Dan barang siapa yang mengerjakan kebaikan, maka akan Kami tambahkan baginya kebaikan atas kebaikan itu." (QS. Asy-Syura [42]: 23)

فَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْراً يَرَهُ

"Siapa yang mengerjakan kebaikan walau seberat biji sawi, niscaya dia akan melihat (balasan)nya." (QS. Az-Zalzalah [99]: 7)

Banyak juga hadis-hadis senada. Maka siapa yang menganggap perbuatan baik sebagai perbuatan bid'ah tercela, sebenamya dia telah keliru dan secara tidak langsung bersikap sok berani di hadapan Allah dan Rasulnya dengan mencela apa yangtelah dipuji. Baca selengkapnya...